PERSOALAN TENAGA KERJA MASIH TERPINGGIRKAN
Oleh : Suharyono Soemarwoto, MM.
(Pemerhati Ketenagakerjaan & Ekonomi Kerakyatan)
Lesehan, inilah Gaya Menaker, Hanif Dakhiri saat menggelar silaturahim dengan puluhan pimpinan serikat pekerja/federasi/konfederasi di Widya Chandra komplek perumahan menteri di bilangan Gatot Soebroto Jakarta pertengan April lalu.
Begitu memulai pembicaraan, menaker memberikan kesempatan kepada semua para pimpinan SP/SB/Federasi/Konfederasi untuk menyampaikan pendapat, usul, saran dan kritikan kepada kemenaker yang dipimpinnya. Lesehan ini bagaikan Lesehan Keluh Kesah Pekerja (LK2P). Para pimpinan SP/SB/Federasi/Konfederasi pun tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini dan secara bergiliran mereka menyampaikan laporan konndisi ketenagakerjaan yang terjadi di lingkungan SP/SB masing-masing; seperti misalnya upah murah, rendahnya tingkat
pendidikan, diklat, perlindungan pekerja di dalam maupun di luar negeri, diskrimanasi/intimidasi kepada aktivis pekerja/pengurus SP, tenaga kerja magang, outsourching, perubahan holding company, sertifikasi, akses perumahan, kesehatan, jaminan pensiun, demo peringatan May Day, pekerja anak, update alih kelola beberapa wilayah kerja (WK) migas,TKI luar negeri, tenaga kerja asing dan lain-lain, termasuk persoalan tenaga kerja informal seperti asisten rumah tangga.
Pak Hanif, itulah sapaan akrab Bapak Pekerja Indonesia dengan santai dan kadang diiringi candaan ceplas-ceplosnya menghangatkan suasana malam itu. Pak Hanif menyampaikan bahwa saat ini Persoalan tenaga kerja masih dipinggirkan. Bayangkan saja di negara maju porofolio kementerian tenaga kerja yang terbesar kedua setelah kementerian pertahanan; sedangkan di negara kita masih jauh tertinggal. Atas persoalan-persoalan yang diungkapkan diatas, Pak Hanif langsung menanggapi satu-per satu dan meminta para Dirjen yang hadir untuk mencatat dan menindaklanjutinya. Tiap-tiap issue ditanggapi dan dibahas secara proporsional dikorelasikan dengan tupoksi kemenaker. Secara garis besar persoalan ketenagakerjaan dapat diidentifikasikan menjadi 5 (lima) yaitu pemenuhan upah, perumahan, transportasi & kesehatan yang memadai; perlindungan hukum bagi pekerja; peningkatan kualitas pekerja, kelembagaan/organisasi pekerja dan penegakkan hukumnya/low inforcement. Menurut kami ke depan perlu dibentuk semacam Focus Group Discussion (FGD) yang terdiri dari perwakilan
SP/SB/Federasi/Konfederasi sektor masing-masing bersama tim kemenaker yang dikoordinasikan oleh Dirjen terkait agar memudahkan pemerintah dalam mengambil keputusan yang pro-pekerja.
Jumlah SP/SB sekitar 2%
Berbicara jumlah SP/SB idealnya sekurang-kurangnnya sama dengan jumlah perusahaan, minimal 1(satu) SP di setiap perusahaan. Saat ini jumlah SP/SB baru mencapai 7000-an (2%) dari 368.000-an perusahaan yang tercatat di kemenkeu. Fenomena ini terjadi salah satu diantaranya akibat dari arogansi pengusaha terhadap buruh/pekerja yang berniat untuk berorganisasi. Sikap arogansi, intimidatif ini jelas-jelas bertentangan dengan pasal 6 UU
Ketenagakerjaan No.13/2003 maupun UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh No. 21/2000. Ke depan harus didorong agar pekerja mau dan berani mendirikan SP/SB yang menjadi haknya sebagaimana diatur dalam pasal 104 UU Ketenagakerjaan No.13/2013 yang antara lain berfungsi sebagai sarana hubungan industrial maupun menjadi tameng dalam memperjuangkan kepentingannya, terutama saat mendapat ketidakadilan. Pemerintah diharapkan mendorong lebih keras lagi agar para buruh/pekerja memiliki spirit kuat untuk mendirikan SP/SB di
perusahaannya masing-masing.
Sementara jumlah buruh/pekerja yang berserikat baru sekitar 2,71 juta orang. Padahal di negara maju, Union mempunyai daya dukung dan daya dobrak yang kuat untuk memperjuangan kepentingannya. Ini tantangan bersama agar SP/SB/Federasi/Konfederasi yang sudah eksis bersama kemenaker terus berkhidmat dan gencar menjalin kerjasama melalui U2U (union to union) untuk membidani terbentuknya SP/SB disemua perusahaan, sehingga beberapa tahun ke depan jumlah SP/SB dapat ditingkatkan secara bertahap hingga 100% sama dengan jumlah perusahaan.
May Day & Karnaval
Sebagian besar kalangan menilai bahwa May Day itu identik dengan demo pekerja turun ke jalan dimana-mana untuk orasi dan mengajukan tuntutan-tuntutan; yang kadang juga diikuti tindakan-tindakan yang tidak terpuji dan anarkhis. Demo merupakan hak konstutusional, namun dalam pelaksanannya harus menjaga kondusivitas, kenyamanan dan keamanan masyarakat tentunya harus dilakukan secara bertanggungjawab sehingga menjadi aksi simpatik. Pak Hanif bahkan berharap agar peringatan May Day tahun 2018 bisa dikemas dalam aksi misalnya
karnaval pekerja. Ini pulalah yang diharapkan dapat menghapus stigma negatif atas berlangsungnya peringatan May Day. Ada yang skeptis, bagaimana mungkin berkarnavalria, bila hak-hak normatif pekerja saja masih belum dipenuhi oleh para pengusaha. Karnaval pekerja rasanya masih menjadi impian Pak Hanif, entah kapan bakal terwujud.
Ketahanan Energi Nasional
Tidak bisa dipungkiri bahwa sektor migas masih menjadi primadona andalan untuk ketahan energi nasional yang kini semakin rapuh mengingat semakin berkurangnya cadangan-cadangan migas kita. Pak Hanif menggarisbawahi bahwa nasionalisasi asset yang tengah dilakukan pemerintah harus dikawal agar proses alih kelola berjalan lancar dan produksi tetap dapat dipertahankan. Kemenaker akan turut mengawasi agar hak-hak pekerja tetap terjamin, termasuk keberlanjutannya dengan operator baru. Menaker juga meminta SP sektor migas yang hadir untuk melaporkan setiap perkembangan yang terjadi sedini mungkin langsung kepada beliau maupun para Dirjen.
Dalam kaitan ini tahun 2018 ada 8 (delapan) Wilayah Kerja Migas yang akan berakhir masa kontraknya meliputi East Kalimantan, Tengah Block, B Block, NSO/NSO Extention, Tuban, Ogan Komering, Southeast Sumatera. Kemudian berturut-turut akan diikuti puluhan WK yang akan berakhir masa kontraknya. Pemerintah dalam hal ini Menteri ESDM sudah menetapkan Pertamina – BUMN Republik Indonesia sebagai operator baru bagi kedelapan WK tersebut, demi ketahanan energi nasional maupun amanat pasal 33 UUD 1945. Ada hal baru dalam sistem kontraknya yaitu Kontrak Bagi Hasil Gross Split sebagaimana diatur dalam PermenESDM no.08/2017. Besaran bagi hasil awal (bas split) untuk minyak bumi ditetapkan 57% untuk negara, 43% untuk kontraktor dan untuk gas bumi ditetapkan 52% untuk negara, 48% untuk kontraktor. Sedangkan untuk pengembangan lapangan atau beberapa lapangan dikaitkan dengan perhitungan komersial maupun titik keekonomian tertentu maka akan ada perubahan bagi hasil dengan margin 5%. Sekilas PSC GS ini mudah, namun perlu kajian mendalam serta peran signifikan dari para pihak yang berkepntringan agar pelaksanaannya benar-benar bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat serta kemungkinan adanya dampak-dampak negatif, seperti misalnya bagaimana nasib pekerjanya yang mungkin minim proteksi dari negara serta kemungkinan tergantikannya Tenaga Kerja Indonesia oleh Tenaga Kerja Asing (TKA).
Satu tahun MEA
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah dimulai pada Ahir Desember 2015 lalu, bagimana perkembangannya? MEA yang sejatinya adalah liberalisasi menjadikan kita harus benar-benar kuat dan memiliki posisi tawar yang handal sehingga tidak memperparah kondosi ekonomi dan aspek kehidupan lainnya. Dalam kaitan memperingati Hari Buruh Dunia (May Day) tepatlah kiranya kita bersama-sama introspeksi mengenai apa yang telah kita perbuat dan mencari opsi-opsi untuk meningkatkannya secara sistematis, berkelanjutnan dan berhasilguna; terlebih pemerintah telah menerbitkan Inpres No. 11/2011. Terdapat ada 12 (dua belas) sektor industri agro, industri berbasis karet, kayu, tekstil, otomotif, elektronik, perikanan, transportasi udara, kesehatan, pariwisata, logistik dak teknologi informasi.
Dalam kaitan ketenagakerjaan, ada 8 (delapan) profesi yang diliberalisasikan yaitu sarjana teknik, arsitek, dokter, dokter gigi, perawat, akuntan, tenaga survey dan pariwisata. Masyarakat Indonesia yang berprofesi di delapan bidang ini wajib meningkatkan daya saingnya agar tidak menjadi penonton di negeri sendiri serta bersiap menjadi TKA di kawasan ASEAN. Sementara itu, data BPS pada Agustus 2016 angka penyerapan tenaga kerja sebesar 8,47% sektor jasa, 3,93% perdagangan, 9.78% transportasi & komunikasi , 2.8% konstruksi; dan pengagguran sebanyak 7,03 juta orang. Kemenaker juga merilis jumlah TKA th 2016 sebanyak 74.183 orang, tahun 2015 sebanyak 69.025 orang, ada kenaikan 5000-an orang/tahun akibat dari dimulainya MEA pada akhir Desember 2015; belum lagi yang masuk secara ilegal.
Effort luar biasa Menaker Hanif Dakhiri patut diapresiasi saat melakukan sidak TKA Illegal asal Cina di beberapa daerah seperti di Banjarmasin, Bogor Jawa Barat beberapa waktu lalu. Puluhan orang terjaring tanpa dokumen yang dipersyaratkan dalam undang-undang. Media senantiasa meliput berbagai pelanggaran keimigrasian maupun TKA ilegal yang menyerbu Indonesia, termasuk buruh-buruh kasar yang menjamur jumlahnya. Dalam kaitan ini pengawasan dan penegakkan hukum (low inforcement) yang tegas, sanksi yang berat serta didukung oleh kepedulian rakyat Indonesia untuk berani melaporkan kepada yang berwajib jika menemukan pelanggaran-pelanggaran.
Profil Naker dalam Angka
Angka pengangguran yang tinggi menuntut pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja baru secara integral dengan pengembangan dunia usaha dan kewirausahaan. Tiap tahunnya ada sekitar 2 (dua) juta penduduk Indonesia yang terjun ke dunia kerja merupakan tangangan sangat berat bagi pemerintah Indonesia untuk menstimulasi penciptaan lapangan kerja baru; terlebih pengangguran muda (kebanyakan dari mereka yang baru lulus kuliah) menjadi kekhawatiran utama yang perlu shortcut penyelesaian.
Dari total penduduk sekitar 255 juta orang, Indonesia termasuk negara berpenduduk terpadat ke-4 didunia, setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Populasi penduduk usia muda di bawah 30 tahun hampir separonya. Ini merupakan potensi sangat besar sebagi bonus demografi dan akan terus berkembang di masa mendatang. Hal ini wajib mendapat perlakuan khusus agar dapat dijadikan keunggulan komparatif, bukan malah sebaliknya menjadi beban demografi yang memberatkan.
Tahun 2016 jumlah tenaga kerja kita tercatat 127,8 juta orang , yang bekerja 120,8 juta orang, dan yang menganggur 7 juta orang; separonya berpendidikan Sekolah Dasar. Sementara itu dari data BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI) menyebutkan bahwa pada 2016 penempatan TKI ke luar negeri sebanyak 234.451 orang tersebar ke berbagai negara asia, eropa, timur tengah.
BLK & Produktivitas
Kemenaker telah melakukan pemetaan terhadap kondisi 276 Balai Latihan Kerja (BLK) milik pemerintah di seluruh Indonesia. Hasilnya, hanya 57 BLK atau 20,65 persen yang kondisinya baik. Padahal, BLK tersebut digunakan untuk meningkatkan keterampilan pencari kerja, meningkatkan produktivitas maupun mengurangi pengangguran. Dari 57 BLK yang kondisinya baik tersebut, 14 milik Kemenaker, sisanya milik pemda provisi/kabupaten/kota. Selebihnya, sebanyak 138 atau (50 persen) BLK milik pemda kondisinya termasuk cukup/sedang. Sebanyak 81 atau 29,35 persen berada dalam kondisi buruk atau memprihatinkan. Hal ini perlu pembenahan mengikuti standar pada 14 BLK milik Kemenaker yang kondisinya sudah sangat baik. BLK-BLK milik Kemenaker harus menjadi model percontohan dalam pembenahan nanti.
Meskipun anggarannya terbatas, belum lagi julah instruktur hanya tersedia 3.221 orang instruktur untuk 255 buah BLK. Padahal idealnya tersedia 6.000 orang instruktur. Jadi kita masih butuh sekurang-kurangnya 3.000 orang nstruktur lagi. Untuk mencetak seorang instruktur membutuhkan waktu sembilan bulan dan menghabiskan dana sebesar Rp 100 juta per orang. Jadi dibutuhkan dana sekitar Rp 300 miliar lagi. Dalam kaitan ini harus dicari terobosan dengan pemerintah daerah agar dapat mengalokasi dana (termasuk dana CSR dari perusahaan) untuk mendirikan BLK Masuk Desa yang implementasinya dapat berkolaborasi dengan Perguruan Tinggi. Inilah PR kita bersama agar semua pihak berkolaborasi demi Kejayaan Pekerja Indonesia yang kini masih terpinggirkan.
(Semoga Jalayah Pekerja Indonesia..!)